Banjir di Kalbar Terus Terjadi Tanpa Solusi

  • Bagikan
Ilustrasi Banjir di Kalbar/Walhi Kalbar

MNEWS9 – Banjir terus saja terjadi di sejumlah wilayah di Kalimantan Barat (Kalbar). Banjir lebih dari satu bulan tercatat terjadi Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Bahkan di Kota Singkawang banjir sempat menjadi polemik antara anggota DPRD Singkawang, Susi Wu, dengan Wali Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie. Politisi Partai NasDem itu menilai selama kepemimpinannya, Tjhai Chui Mie tidak mampu mengatasi banjir, sementara Tjhai Chui Mie mengaku sudah berbuat dengan melakukan normalisasi parit dan anak sungai.

Dalam sejarah Kalbar, banjir terparah terjadi pada tahun 2021 lalu, saat banjir merendam akses jalan negara yang menghubungkan Sintang dengan Kapuas Hulu setinggi dada orang dewasa yang berlangsung lebih dari satu bulan, sehingga mengganggu lalulintas dan perekonomian warga setempat. Bahkan banjir di Sintang membuat Presiden Joko Widodo hadir langsung di Sintang mencari sebab mengapa banjir begitu lama di kawasan konservasi tersebut.

Menurut data Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2021, banjir di Sintang telah menggenangi 12 kecamatan. Sebanyak 140.468 jiwa terdampak banjir dan dua warga dilaporkan meninggal dunia. Banjir Sintang tahun 2021 sudah seperti banjir besar tahun 1963.

Alih fungsi hutan yang berlebihan

Menurut organisasi lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), alih fungsi kawasan hutan di Kalbar ‘secara masif dan berlebihan’ untuk kepentingan investasi perkebunan dan pertambangan, telah mengancam keselamatan manusia dari potensi bencana ekologis.

Menurut Walhi, jumlah luas kawasan hutan produksi untuk investasi di Kalbar mencapai 12 juta hektare, dari total wilayah 14,7 juta hektare, meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan rencana tata ruang hutan produksi sebesar 6,4 juta hektare.

Salahsatu akibatnya, dapat terlihat dari banjir yang terjadi wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, seperti Kabupaten Sintang, Malawi, Sanggau, dan Sekadau.

“Dalam rencana tata ruang Provinsi Kalbar, kawasan produksi hutan sebesar 6,4 juta hektare dari total wilayah 14,7 juta hektare, dan sisanya adalah kawasan non-produksi,” ujar Direktur Eksekutif WALHI Kalbar, Nikodemus Alle.

“Tapi kenyatannya, luas kawasan investasi baik tambang, sawit, dan sektor kehutanan lain, sangat masif, lebih dari 12 juta hektare. Artinya, hutan ini sudah overload, tidak mampu lagi menjamin keselamatan manusia dari ancaman bencana ekologis,” lanjut Nikodemus.

“Jadi semua kejadian bencana ekologis ini akibat perencanaan tata ruang yang buruk. Kita sekarang baru memasuki fenomena La Nina, tapi banjir sudah sebesar ini,” ujarnya.

Menurut data Global Forest Watch, Kalbar kehilangan 1,25 juta hektare hutan primer dari tahun 2002 hingga 2020. Kemudian, pada tahun 2020, Kalbar kehilangan 3,58 juta hektare tutupan pohon, atau mengalami penurunan 26 persen penurunan tutupan pohon sejak 2000.

Empat wilayah yang berkontribusi terbesar adalah Ketapang, Sintang, Sanggau, dan Kapuas Hulu.

Krisis Ekologis

Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, yang diminta pendapatnya terkait banjir yang terus terjadi setiap tahun di wilayah Kalbar ini mengatakan, rentannya sejumlah wilayah di Kalbar mengalami bencana ekologis banjir dengan intensitasnya yang kian meningkat dari waktu ke waktu semakin mempertegas bahwa krisis ekologi yang terjadi tidak cukup hanya direspon dengan wacana penyemaian bibit dan pembangunan geobag sebagaimana wacana maupun pembuatan geobag atas bencana banjir yang terjadi setahun lalu di Sintang.

“Kedua respon yang dilakukan atas bencana ekologis banjir yang berlangsung selama lebih sebulan di kabupaten Sintang dan sekitarnya tahun lalu tersebut perlu dievaluasi serius. Terlebih akhir-akhir ini, wacana pembuatan persemaian tersebut tidak tampak dari aksi yang dilakukan terhadap wilayah-wilayah ekosistem kritis yang harusnya dipulihkan. Demikian pula pembangunan geobag, yang sedari awal memang kami yakini bukan sebagai solusi mengantisipasi maupun mengatasi banjir, namun tetap dinarasikan sebagai solusi atasi banjir oleh pemerintah saat itu. Pembangunan geobag, hemat kami hanya mungkin efektif bila dibangun guna mencegah erosi di sepanjang bibir sungai atau pantai, bukan untuk mencegah banjir,” ungkapnya.

Lebih lanjut Adam menilai, banjir yang terjadi tentu bukan karena curah hujan, tetapi akibat dari curah izin untuk industri ekstraktif berbasis hutan/lahan yang selama ini terus berlangsung hingga menyebabkan wilayah tangkapan air maupun penyangga mengalami kerusakan. Karenanya, bencana banjir yang terjadi intens belakangan di sejumlah wilayah Kalbar tidaklah mengejutkan. Terlebih upaya pemulihan lingkungan yang kritis selama ini masih belum memperlihatkan hasil nyata dan sebaliknya praktik ekstraksi sumberdaya alam masih berjalan di lapangan.

“Bencana banjir yang terjadi di Singkawang pada Agustus 2022 lalu misalnya, tidak pernah ada yang membayangkan bisa terjadi. Namun, kenyataannya situasi nyata tersebut kala itu tidak dapat ditolak dan demikian pula bencana banjir pada sejumlah wilayah di Ketapang beberapa waktu lalu, nyata adanya sejalan dengan kondisi wilayah tersebut yang sudah sangat sesak dibebani izin investasi baik perkebunan sawit, perkebunan kayu maupun izin ekstraksi pertambangan. Situasi begini harusnya juga semakin menjadikan negara melalui infrastrukturnya semakin sigap dan sadar bahwa bencana ekologis semakin mungkin terjadi dengan intensitasnya yang kian meningkat dan berpotensi melahirkan daya rusak ekstrim bagi berbagai aspek kehidupan,” paparnya.

“Bencana ekologis banjir dan daya rusaknya yang terjadi harus kita lihat sebagai persoalan serius, sebab rusaknya sistem ekologis yang berlangsung sejak lama akibat curah izin maupun praktik ekstraksi sumberdaya alam yang hanya dijadikan komoditas dengan dalih pembangunan dan kesejahteraaan. Kenyataannya, bencana banjir yang terjadi berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan dan bahkan telah merugikan pembangunan dan menjauhkan warga dari kesejahteraan, termasuk kaum perempuan dan anak menjadi rentan sebagai korban karena harus menanggung dampaknya,” lanjutnya.

Adam berpendapat, intensitas bencana ekologis yang terjadi seperti banjir yang kerap terulang mengonfirmasi ketidakseimbangan kemampuan alam dalam memastikan daur hidrologis berfungsi optimal. Karenanya, upaya untuk melakukan mitigasi bencana melalui komitmen kebijakan pencegahan kerusakan hingga pemulihan krisis lingkungan harusnya menjadi pilihan aksi serius. Selama ini terkesan reaksi atas bencana banjir hanya dilakukan disaat bencana ekologis terjadi, tapi saat tidak sedang terjadi maka aksi pencegahan seolah terhenti.

“Untuk jangka pendek, informasi peringatan dini mengenai potensi risiko terjadinya bencana yang disajikan dengan mudah dan dapat diakses warga tentu penting tetap ada, termasuk berkenaan dengan perlunya melakukan identifikasi maupun pendataan terkait dengan warga korban agar dapat memperoleh pemenuhan haknya ketika bencana banjir melanda. Namun untuk jangka panjang, upaya yang konsisten dan permanen dalam melakukan pemulihan terhadap wilayah yang kritis/rusak, menjaga wilayah berhutan yang tersisa sebagai penyangga dan resapan, menghentikan curah izin eksploitasi alam bagi korporasi, serta melakukan tindakan hukum tegas terhadap pelaku usaha yang melanggar serta melakukan audit lingkungan maupun evaluasi izin konsesi yang ada mendesak dilakukan,” tegasnya.

“Sekali lagi, ketika geobag dan persemaian dianggap sebagai solusi atas masalah banjir terutama yang terjadi tahun lalu, maka solusinya adalah perlu dilakukannya perencanaan ulang dan evaluasi terhadap langkah maupun wacana yang pernah ada tersebut sembari memastikan langkah pemulihan eksosisten kritis yang ada secara konsisten dan berkelanjutan,” pungkasnya.

70 persen DAS Kapuas Rusak

Senada dengan Walhi, Gubernur Kalbar, Sutarmidji, mengatakan, banjir disebabkan oleh kerusakan DAS Kapuas yang telah mencapai 70 persen akibat pertambangan liar dan perkebunan.

Berdasarkan data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, terdapat lebih dari satu juta hektare lahan kritis dari total 14 juta luas DAS di Kalbar, dan mayoritas berada di DAS Kapuas.

“Pendangkalan sungai cepat sekali, muara Kapuas kalau tidak pasang itu tujuh meter, sekarang 4,6 meter, sudah ada dua meter pendangkalan. Mengapa sendimentasi ini cepat ? karena di perhuluan ada pertambangan emas tanpa izin (PETI), bahkan pakai eskavator,” kata Sutarmidji, Selasa 9 November 2021.

“Lalu alih fungsi lahan dari hutan berbagai jenis tumbuhan menjadi satu jenis (sawit). Saya juga tidak setuju itu dengan HTI (Hutan Tanaman Industri). Dari 10 yang diberi izin, hanya satu yang tanam, yang lain tebang kayu lalu ditinggalkan,” tambahnya.

Sebagian besar daerah tersebut masuk dalam wilayah DAS Kapuas. Menurut data Balai Pengelola DAS dan Hutan Lindung Kapuas, dari 14 juta hektare luas DAS di Kalbar, terdapat 1,01 juta hektare DAS dalam kondisi kritis, yang mayoritas terjadi di DAS Kapuas.

“Dari sekitar satu juta hektare lahan kritis, paling besar ada di DAS Kapuas,” kata Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Kalbar, Adi Yani, kepada BBC News Indonesia.

Adi mengatakan, DAS Kapuas (selain DAS Pawan dan DAS Jelai di Kalbar) mengalir dari Kabupaten Kapuas Hulu, Melawi, Sintang, Sekadau hingga Kota Pontianak.

“Sehingga kalau ada hujan lebat, tidak ada tutupan lahan, tanah menjadi lumpur dan mengalir ke sungai dan terjadi pendangkalan sementara debit air di sungai sudah maksimal, ditambah curah hujan yang tinggi, sehingga luber semua,” kata Adi.

Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia, yaitu sepanjang 1.143 kilometer.

“Penyebab rusaknya DAS Kapuas adalah aktivitas PETI di darat hingga atas sungai, alih fungsi hutan jadi kebun sawit, pembangunan infrastruktur, pemukiman, hingga kebakaran hutan dan lahan, ditambah debit air yang tinggi,” ujar Adi.

Untuk itu, salah satu upaya yang dilakukan Pemprov Kalbar adalah melakukan moratorium perizinan dan rehabilitasi lahan yang kritis dengan memfokuskan pada wilayah DAS Kapuas.

Geobag Dinilai Tidak Efektif

  • Bagikan