TNI Tak Pernah Berubah

  • Bagikan
M.D. La Ode. Ahli Politik Etnisitas/Dokumen Pribadi

Untuk tujuan perang melawan invasi Sekutu AS, 9 Maret 1943 PM. Jepang Hideki Tojo mendirikan organisasi Poesat Tenaga Rakyat (Poetra) yang mencakup untuk semua. Ketua Soekarno, Wakil Hatta, ditambah Ki Hadjar Dewantoro dan pemimpin Islam terkemuka, KH. HM. Mansoer asal Madura. Bulan September 1943 Poetra mensponsori berdirinya Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Anggotanya 120.000 personel bersenjata, Ketuanya Gatot Mangkupradja. Soekarno, Hatta, anggota Poetra, dan anggota PETA semuanya Pribumi nasionalis dan militan.

Tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah membentuk “Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk menjamin keamanan umum”, Kasumnya Letjen Urip Soemohardjo. Panglima Besar TKR terpilih Jenderal Soedirman, semula menjabat Panglima Divisi V/Banyumas. TKR inilah yang jadi TNI. Pesan Panglima Besar Jenderal Soedirman kepada bangsa Indonesia bahwa “satu satunya hak milik Nasional Republik yang tidak berubah-ubah meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan, hanya TNI”.

Namun pada dasawarsa terakhir, TNI terindikasi terjebak perubahan akibat tekanan infiltarasi politik etnisitas bangsa lain yakni:— ECI—Cina Komunis—Cina Kuomintang. Ini diidentifikasi dari “upaya pengkhianatan politik etnisitas:—ECI—Cina Komunis—Cina Kuomintang, yang dibungkus rapi dengan aspirasi:— “toleran”—“persatuan”— “Bhinneka Tunggal Ika”. Upaya politik etnisitas:— ECI—Cina Komunis—Cina Kuomintang tersebut, bertujuan aneksasi NKRI dari kuasa Pribumi melalui saluran demokrasi. Infiltrasi ini lebih lunak dari metode aneksasi terhadap Negara Turkistan yang dijadikan Provinsi Xin Jiang, oleh Cina Komunis. Mendekati halusnya proses aneksasi etnis Cina terhadap Singapura dari etnis Melayu sebagai penguasa Kesultanan Temasek/Singapura.

“Toleran” menurut ECI, indikasinya harus menerima ECI menjadi pemimpin politik Pribumi pada struktur negara dengan alasan “equal before the law”. Aspirasi ini keliru! Equal hanya di depan hukum dan individual, tapi di depan politik senantiasa struktural yaitu Pribumi penguasa atas Non Pribumi. Sebab penentu berdirinya suatu negara adalah politik etnisitas bukan hukum. Jika ECI keberatan silahkan cari negara lain. Memang penegakkan kedaulatan negara seperti ini.

“Persatuan” dimaksudkan ECI sebagai WNI asal bangsa asing meskipun masih berstatus pengkhianat Negara Pancasila, harus diterima menjadi variabel “persatuan” Indonesia. “Bhinneka Tunggal Ika” dihubungkannya dengan kemajemukan masyarakat Indonesia, bahwa di antara variabelnya, ECI. Meskipun dalam latar belakang konsensus nasional Bhinneka Tunggal Ika tanpa ECI. Namun kalau Pribumi menolak ECI, ancamannya berhadapan dengan TNI. Ini juga lebih keliru! Filsafat Bhinneka Tunggal Ika mulai digunakan di Kerajaan Singhasari melalui paham filofofis “beda itu”, “satu itu” (solusi konflik sektarian Hindu-Budha), yang berhasil menumpas invasi Cina di Nusantara.

Indikasi lain, tahun 2020 TNI terjebak politik partisan. Fakta ini ditunjukkan oleh keputusan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman memerintahkan anggota TNI untuk menurunkan paksa baliho IB HRS. Padahal IB HRS bukan musuh negara yang harus ditindak TNI sebagai alat negara. Cukup Satpol PP. Tapi betul IB HRS dimusuhi:—ECI pengusaha kemaksiatan—ECI penyebar KKN—ECI penyebar Komunisme di negeri ini—ECI  dan Cina Komunis berusaha melemahkan pemerintah Indonesia dan TNI.

Dalam pada itu, ECI sadar bahwa musuhnya di negeri ini ialah:—TNI—Ummat Islam—Pribumi. Pada aspek lain, TNI, BIN, Kejagung, Polri, dan BAIS tak pernah merilis hasil risetnya bahwa ECI dan Cina Komunis tak lagi berstatus pengkhianat terhadap Negara Pancasila. Tapi sudah dibolehkan masuk ke dalam Asta Gatra Nasional. Fenomena ini mengesankan dapat perlindungan politik etnisitas dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan klausul “ujaran kebencian”.

  • Bagikan